Tahu isi tuna dan berbagai produk olahan dari ikan tuna, memang tidak sepopuler makanan lain. Namun jika sedang berkunjung ke Pacitan, tidak ada salahnya Anda mencoba mencicipinya. Uniknya, meskipun produk olahan tersebut buatan Pacitan, justru laris manis di kota-kota besar di Indonesia. Semua itu berkat keuletan, ketekunan, dan kegigihan lelaki bernama Sukiran. Mau tahu kisah suksesnya?
Menjelang akhir tahun 2011, wartawan Majalah Sains Indonesia mendapat kesempatan mengunjungi sentra industri pengolahan tahu isi tuna dan berbagai produk olahan ikan tuna di Telengria, Kabupaten Pacitan. Menjelang siang, suhu udara mulai menghangat. Sinar matahari yang menyengat, seolah membakar semangat para pekerja.
Suhu panas makin meningkat tatkala penulis memasuki dapur milik Sukiran. Dapur itu menempel di sebelah rumahnya. Beberapa tungku masak, tampak mengepul mengeluarkan uap panas. 12 orang karyawannya terlihat sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Di dapur kerjanya inilah Sukiran mengolah berbagai macam produk makanan dari bahan baku ikan tuna.
Usaha Sukiran diawali dari ketidaksengajaan. Maklum, pria yang tinggal di RT 05 RW XII, Telengria, Sidoharjo, Pacitan ini, sebelumnya hanyalah pedagang ikan keliling. Lelaki berusia 40 tahun ini mulai melirik berbagai produk makanan berbahan baku ikan tuna setelah melihat pasokan ikan tuna di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Pelabuhan Pacitan yang melimpah. "Sejak ada TPI, ikan sangat melimpah. Hasil tangkapannya juga besar-besar. Dari sinilah, pikiran saya mulai terbuka untuk memulai usaha baru," ungkap Sukiran yang memulai usahanya sejak 2009 ini.
Salah satu produk olahan yang ada dipikirannya saat itu adalah tahu isi. Berbekal Rp 5.000, ia membeli tahu ke pasar. Tahu kemudian diolah menjadi produk makanan yang mempunyai nilai jual lebih tinggi, yaitu tahu isi ikan tuna. Tahu hasil olahannya dijual ke pasar terdekat. Usahanya tidak sia-sia, tahu isinya selalu habis terjual.
Ia yakin, dagangannya laku. Sukiran mulai meningkatkan pembelian tahu Rp 10.000. Tahu isinya juga ludes terjual. Pembelian tahu pada hari berikutnya Rp 39.000. Dengan modal tersebut, ia bisa mengemas tahu isi tuna menjadi 35 bungkus. Satu bungkus kemasan tahu isi tuna berisi 10 tahu. Merasa optimistis dagangan selalu habis terjual, ia mulai memberanikan diri menambah pembelian tahu hingga Rp 100.000. Berawal dari situlah, penjualan tahu isinya mulai mengalami peningkatan pesat.
Ia mulai kewalahan dengan permintaan pesanan. Maklum, alat pengaduk daging olahannya saat itu terbilang masih tradisional. Ia sempat mencoba dengan blender, namun alat tersebut tidak mampu untuk mengolah daging dalam kapasitas yang banyak.
Artikel selengkapnya bisa anda dapatkan di Majalah SAINS Indonesia Edisi Perdana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar