Blogger Widgets

Selasa, 13 Januari 2015

Kisah tentang keberhasilan Usaha Kecil Menengah (UKM) selalu menarik untuk disimak.  UKM hidup melekat di tengah masyarakat untuk memperkuat kegiatan ekonomi lokal, regional, nasional bahkan internasional.  Kisahnya selalu unik, karena dibelakangnya ada orang-orang yang tangguh, yang mengenali dan menguasai lingkungannya, dan mencoba memberikan nilai tambah dalam kehidupan sosialnya. Uniknya adalah ia hidup alamiah seperti tanaman.  Ketika tanaman baru berbentuk benih, tidak seorang pun melihatnya.  Benih itupun bersusah payah beradaptasi dengan lingkungannya.  Kadang benih kekurangan air, terendam air, bahkan juga termakan serangga,.. tidak seorang pun tahu.  Bila benih itu akhirnya mati.. tamatlah riwayatnya, dan ini jumlahnya sangat banyak.  Bagi benih yang bertahan, maka ia pun masih melanjutkan  hidup dalam situasi yang tidak mudah.  Bila kuat dan tangguh maka ia pun berhasil menghasilkan buah atau hasil panenan.  Tanaman inilah wujud UKM yang berhasil, yang diperankan para entrepreneur.
Namun, UKM yang berhasil… sering galau, mengapa? Karena keberhasilannya sering diklaim, ditiru, atau dijadikan referensi orang lain.  UKM dikunjungi, dilihat, dan difoto untuk kepentingan pihak lain.  Padahal yang mereka butuhkan adalah solusi atas masalah yang dihadapi, misalnya teknologi, manajemen, atau pemasaran.
Berikut ini adalah kisah UKM yang penulis rekam dalam kegiatan monev internal (monevin) Ipteks bagi Pengembangan Ekspor (IbPE) di Universitas Widyagama Malang, pada tanggal 21 Agustus 2014.  IbPE adalah skim kegiatan pengabdian masyarakat yang dibiayai Dirjen Dikti, untuk memberikan solusi peningkakan produksi UKM yang berorientasi ekspor.  Kegiatan IbPE memang berorientasi solusi masalah sesuai kebutuhan UKM, bukan perihal kosmetik yang membuat galau UKM.
Kunjungan pertama adalah ke UKM produksi janggelan, lengkapnya adalah IbPE USAHA KECIL MENENGAH JANGGELAN PUDER DAN SARI APEL CELUP  (Pengusul Prof. Dr. Ir. Sukamto, MS).  Janggelan, nama yang aneh, tidak populer, paling tidak bagi penulis. Di UKM ini, tanaman janggelan diolah menjadi bubuk (powder) agar-agar hitam, atau yang populer dengan nama cincau hitam.  Cincau hitam merupakan makanan sehat kaya serat, yang populer di negara Taiwan, China, Korea dan Asean.
UKM dengan label UD INTAN SARI JANGGELAN ini terletak Jl. Parangargo no 9, kecamatan Wagir, kabupaten Malang.  Pemilik UKM, yakni pak Gatot (dan ibu Endang, No HP 081252540807, 0341-8674455), telah mengusahakan produksi agar-agar hitam janggelan sejak tahun 2007, dan telah diekspor ke negara-negara Asia. Bahan baku tanaman Janggelan didapatkan dari wilayah Pacitan, Ponorogo dan sekitarnya.  Menurut pak Gatot, janggelan juga ditanam di Malang Selatan tetapi rendemennya hanya sekitar 30 persen, sementara rendemen janggelan Pacitan mencapai 65 persen.  Ia berterimakasih kepada Prof. Sukamto (dosen Universitas Widyagama Malang) yang telah membantu dalam hal (i) produksi, yakni menyediakan mesin pemasak dan bangunan pengering; (ii) manajemen keuangan, yakni tata kelola, pembukuan dan stok, dan sistem akuntansi, dan (iii) standarisasi mutu produk, termasuk sertifikasi halal.
Tanaman Janggelan (sumber: http://photo.kontan.co.id)
Pak Gatot awalnya ragu dengan gagasan peningkatan produksi yang ditawarkan Prof Sukamto.  Itu adalah wujud kegalauan beliau.  Beliau sering menerima kunjungan orang-orang dari Pemda, dosen, peneliti atau mahasiswa, yang sekedar bertanya-tanya dan berfoto sekedar reportase, untuk kepentingan mereka sendiri.  Ada pula yang menjanjikan bantuan tertentu, namun setelah itu, mereka menghilang tanpa kabar.  Adapun bantuan dari kegiatan IbPE Prof Sukamto itu sangat nyata dan berkelanjutan, untuk menyelesaikan masalah dan kendala produksi.  Bantuan IbPE bahkan memberi semangat dan gairah untuk maju dan menghadapi tantangan.  Bantuan teknis dan manajemen IbPE itu dapat meningkatkan produksinya hingga 200 persen dari kondisi sebelumnya.
IbPE  janggelan widyagama2
IbPE pengering janggelan
Pasar produk UKM janggelan ini telah mencapai Jakarta.  Sebagian produknya menggunakan kemasan sendiri, sebagian lainnya dikemas oleh pemesan.  Untuk meningkatkan kapasitas pasar, pak Gatot mengupayakan standar mutu produk, serta membuka kerjasama dengan pihak lain untuk repackaging.  Sejauh ini, ia belum mampu membuat merk sendiri karena kuatnya persaingan.  Untuk memenuhi kebutuhan ekspor pun ia masih menggunakan jasa pihak lain.
Kunjungan kedua adalah ke UKM pasir kucing, lengkapnya IbPE Kelompok Usaha Pasir Kucing (Cat Litter) di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur (pengusul Ir. Candra Aditya, MT).  Nama produk ini pun tidak kalah asing.  Pasir kucing adalah produk pasir yang digunakan oleh rumah tangga yang memiliki hewan peliharaan kucing.  Pasir itu oleh kucing atau anjing menjadi pilihan utama untuk kencing atau buang kotoran.  Begitu kucing menyelesaikan hajatnya, cairan kencing bereaksi dengan pasir menimbulkan bau wangi, misalnya jeruk, apel, lavender, atau bau lain sesuai selera.   Pasir kucing, bukan hanya menjaga kebersihan rumah, tetapi juga dapat digunakan sebagai ‘pupuk’ untuk taman. Produk pasir kucing ini dapat dibeli di supermarket di kota-kota besar dengan label produk impor Cina atau Eropa.  Padahal itu adalah produk domestik, diantaranya adalah yang diproduksi di Tulungagung.
Sugianto, pengusaha pasir kucing
Sugianto, pengusaha pasir kucing
UKM pasir kucing terletak di kecamatan Ngunut, kabupaten Tulungagung.  UKM ini mengambil bahan baku batuan bentonit (masuk kelompok galian tipe C) dari kecamatan Binangun, kabupaten Blitar.  Bentonit adalah nama mineral sejenis monmorilonitik yang kaya liat tipe 2:1.  Bentonit memiliki fungsi menyerap air, kation dan senyawa lain; sehingga memiliki manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia, dalam bidang pertanian, perikanan, dan industri kimia secara umum.  Bentonit ini yang dapat menyerap bau urine atau udara yang tidak sedap.
Pengusaha UKM bernama bapak Sugianto, yang menekuni usaha ini sejak 2008.  Bantuan IbPE untuk UKM pasir kucing adalah penyediaan mesin granulator untuk menambah kapasitas produksi.  Harus diakui bahwa proses produksi pasir kucing ini relatif rumit dan panjang, melibatkan banyak pelaku.   Secara ringkas tahapan produksinya adalah (i) penggilingan batuan, dilakukan oleh rumah tangga sekitarnya, (ii) pengumpulan powder batuan, (iii) granulasi, dibantu mekanisme spraying air, (iv) pewarnaan putih, dangan kalsium, (v) pemberian bahan pewangi, (vi) pengeringan, (vii) pengayakan (sieving), dan (viii) packaging.  Usaha ini secara umum memerlukan ketrampilan sedang, meski awalnya memerlukan ujicoba campuran komposisi dan penguasaan bahan.  Satu workshop memerlukan rata-rata sepuluh orang pekerja, diluar pekerjaan penggilingan yang dilakukan oleh rumah tangga.
IbPE pasir kucing widyagama
IbPE pasir kucing widyagama1Sugianto, yang juga merupakan pengusaha ikan gurami, menyatakan bahwa pasar pasir kucing masih sangat luas.  Produknya sudah dibeli oleh pengusaha asal Surabaya (pemilik merek dagang).  Melalui bantuan IbPE, ia mengembangkan workshop lainnya untuk meningkatkan produksi dan memperluas pasar. Kemampuannya terbatas hanya pada memproduksi saja.  Perihal pasar, distribusi dan ekspor sudah ada pihak yang menangani, sehingga tidak ada tenaga khusus pemasaran.  Meskipun harga yang diterima relatif rendah, ia cukup puas dengan usaha ini, selain memberikan kesempatan kerja bagi penduduk desa.  Menurut pria yang berusia 40 tahun ini, umumnya produsen pasir kucing menggunakan label asing untuk meningkatkan nilai jual.
Pak Sugianto dan tim LPPM Univ Widyagama Malang
Pak Sugianto dan tim LPPM Univ Widyagama Malang
Dari tempat IbPE pasir kucing, penulis dan rombongan mengunjungi kampung coklat.   Kampung coklatterletak di desa Plosorejo, kecamatan Kademangan, kabupaten Blitar, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Blitar (leaflet lihat disini).  Kami tiba di suatu workshop coklat sekitar jam 16.30.  Walaupun sudah selesai jam kerja, namun kami diberi kesempatan memasuki workshop dan melihat-lihat pemandangan di dalamnya.  Kami ditemui oleh seorang pemuda bernama Kholid, yang menjelaskan aktivitas workshop tersebut.
kampung coklat widyagama
kampung coklat widyagama2
kampung coklat widyagama5Hal yang membanggakan bahwa di workshop coklat ini, sesungguhnya menjadi obyek wisata pendidikan perihal budidaya, pengolahan, dan produksi coklat yang dikemas menghibur dan memuat pengetahuan.  Disini ditemui antara lain kebun mini tanaman kakao, tempat pengeringan, pengolahan (fermentasi), pembuatan coklat, gerai (toko) coklat, dan taman bermain.  Area workshop ini mencakup kurang lebih sekitar 0.6 ha.  Pemandangan yang menyolok sekaligus indah adalah kebun mini kakao yang sedang berbuah beraneka warna. Kanopi pohon kakao membentuk gazebo dimana dibawahnya tersedia meja dan kursi untuk pengunjung yang beristirahat atau menikmati minuman coklat.
Kebun mini kakao (http://www.antarajatim.net)
Area workshop ini memang agak tersembunyi, terletak dibelakang rumah penduduk.  Penandanya hanya sebuah papan baliho di tepi jalan desa.  Petunjuk ke arah workshop ini pun sangat terbatas di sepanjang jalan yang kami lalui. Karenanya, pengunjung dari luar kota akan kesulitan menuju tempat ini.  Semoga pemeritah kabupaten Blitar atau pihak lain segera memberi solusi atas hal ini.
Menurut pak Kholid, workshop ini diorganisasikan oleh koperasi Guyup Santosa.  Koperasi menerima buah kakao dari anggotanya, dan kemudian mengolahnya di workshop yang baru dibuka sekitar enam bulan yang lalu. “Kami masih berbenah, perijinan hingga pendaftaran merk sedang diupayakan.  Merk produk coklat adalah Gusant, terkesan berbau nama Prancis atau ke barat-baratan.  Padahal itu adalah singkatan dari nama koperasi Guyup Santosa”, kata pria yang berputra seorang itu.  Inovasi produk, kemasan, jasa layanan dan promosi koperasi masih terus dikembangkan.  Yang jelas, kampung coklat mulai dikenal, melalui media massa, internet, TV, atau kerjasama wisata dengan biro perjalanan.
kampung coklat widyagama4Saat masuk ke toko (showroom) coklat, penulis menyaksikan berbagai produk coklat dalam berbagai kemasan di etalase.  Kami dipersilakan mencoba tester butiran coklat sebesar biji kopi, ada rasa coklat original, karamel, milk, dan crispi.  Tampilan dan interior desain showroom dan etalase cukup baik dan bersih.  Showroom berukuran sekitar 30 m persegi, memuat sekitar 20 pengunjung.  Bila ramai, dipastikan kenyamanan pengunjung di showroom terganggu.  Penulis berharap showroom diperluas, diisi dengan produk yang bervariasi, diberi pendingin udara dan pencahayaan, dan layanan kasir yang cepat, paling tidak meniru toko coklat Singapura.
Produk coklat GuSant dari kampung coklat Blitar tersebut tidak berbeda dengan produk bermerk di pasaran atau di supermarket kota besar Indonesia. Penulis pernah membeli oleh-oleh coklat dari Prancis, Ceko, Arab Saudi, Singapura atau Cina, serta yang dijual di bandara Bangkok, Amsterdam, dan Kuala Lumpur.  Rasa coklat luar negeri tersebut tidak berbeda signifikan dengan coklat Blitar. Yang berbeda menyolok adalah dari segi kemasannya, dimana coklat luar negeri dikemas lebih mewah dan menarik.  Untuk harga, tentu saja di kampung coklat ini lebih murah. Di etalase lain,  tersedia coklat bubuk dalam kemasan besar dan sachet sekali minum.  Pak Kholid menyatakan bahwa workshop coklat membuka peluang kerjasama untuk memperluas pasar, melalui repackaging atau membuat lebel sendiri.
Pak Kholid dan penulis
Pak Kholid dan penulis
Di workshop coklat ini, tersedia paket wisata untuk mempelajari coklat, diperuntukkan bagi segala kelompok usia.  Paket wisata meliputi budidaya dan olahan tanaman kakao, melihat proses produksi cokelat, cara menghias cokelat, sampai mengenal bisnis coklat. Peserta wisata memperoleh layanan fasilitas minuman cokelat, dan membawa pulang cokelat yang sudah mereka hias. Harga paket wisata kampung coklat adalah 10 ribu rupiah per anak (usia TK), 20 ribu rupiah per siswa SD/SMP, 30 ribu rupiah persiswa SMA, dan 50 ribu rupiah per orang dewasa atau umum.   Jelasnya, ini cocok untuk wisata keluarga.  Kunjungan oleh wisatawan atau tamu dari luar negeri juga sering terjadi.  Mereka umumnya memberikan kesan yang baik dengan kampung coklat.
Kisah kunjungan diatas membuka mata untuk keteladanan hidup.  Para entrepreneur UMKM menampilkan kerja keras, kesungguhan, dan ketangguhan untuk bertahan dan menemukan nilai tambah.  Kunjungan tersebut juga memberikan pemahaman terhadap kehidupan UKM.  UKM dengan berbagai tantangannya harus dikenali dan dibantu, agar dapat maju dan berkembang.  Membantu mengenali, menyebarkan dan mempromosikan keberadaan UKM dapat mengembangkan sikap positif bagi pembangunan ekonomi.
Malang, 25 Agustus 2014


link : http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/2014/08/mengunjungi-ukm-janggelan-pasir-kucing-dan-kampung-coklat/

1 komentar: